WARUNG INFOR NASI "MAS ARUL"

Tikungan Ceulibadak, Munjul, Jl. Ipik Gandamanah, Purwakarta, Jawa Barat

  • Oleh Arulmaster

  • Data 10 Pengunjung Terakhir

  • Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

    Bergabung dengan 69 pelanggan lain

Saya Mulai Mengenal Dunia Dagang Sejak Kecil

Posted by Arulmaster pada 29 April 2012


Dunia dagang yang saya tekuni saat ini sudah dikenalkan ibu saya sejak saya kecil. Ibu saya seorang yang tekun dalam dunia dagang. Bagaimana tidak, ibu saya harus berangkat ke pasar subuh-subuh untuk berdagang kue-kue basah buatan ibu sendiri. Pasar itu jaraknya sekitar 4 Km. Tidak jarang ibu harus berjalan kaki dengan beban berat barang dagangan di punggungnya, jika tidak ada alat tranportasi. Alat tranportasi yang ada saat itu adalah sebuah delman dengan kuda sebagai penariknya. Dan itu pun masih jarang. Kalau ada pun, biasanya sudah penuh dengan pedagang lainnya. Dan tidak setiap hari bernasib baik mendapatkan tempat duduk.Sering saya ikut dengan ibu. Umur saya saat itu 5 tahun. Ibu memang menyuruh saya untuk diam di rumah. Tapi saya bersikeras untuk tetap ikut. Saya tidak ikut ke pasar jika ibu berangkat saat saya masih tidur. Suatu hari hujan turun saat mau berangkat. Kali ini ibu memaksa saya untuk tidak ikut. Tapi Arul kecil tetap ngotot ikut. Bapak pun marah dan saya dipukul dengan sapu ijuk. Saya hanya bisa menangis saat itu, apa boleh buat.Setelah selesai berjualan di pasar, siang ibu baru pulang. Bukan istirahat, tapi menyiapkan kembali barang dagangan untuk esok hari. Setelah semua beres, baru ada sedikit waktu untuk istirahat. Malamnya, ibu tidak lagi istirahat. Ibu membuat kue-kue basah untuk dijual paginya. Prosesnya sangat lama dan melelahkan kalau saya lihat. Terkadang saya terbangun, menemani dan melihat semua aktifitas ibu. Ingin rasanya membantu membuat kue. Tapi kata ibu, lebih baik tidur lagi, biarkan ibu yang mengerjakannya. Terkadang saya memang tidur lagi, tapi di dapur, tempat ibu melakukan semua aktifitasnya. Rumah sederhana kami memiliki dapur dengan rumah jalan, hingga saya bisa menikmati pemandangan angkasa sambil tiduran. Apalagi saat terang bulan. Belum ada aliran listrik di kampung saya saat itu.

Saya menikmati semua saat-saat itu hingga satu saat orang yang biasa aku panggil bapak pergi untuk selama-lamanya. Saya belum tahu arti sebuah kematian. Yang saya tahu bapak sedang tidur tak tak akan pernah bangun lagi. Semakin berat beban ibu. Ibu harus memberi makan semua anak-anak sebagai single parent. Saya adalah anak ke 7 dari 8 bersaudara. Tidak bisa saya bayangkan perasaan ibu saat itu. Bapak memang sudah lama menderita suatu penyakit dan hanya bekerja sebagai tukang bangunan saat kesehatannya membaik. Tapi saat kepergiannya, tidak menunjukkan tanda-tanda, beliau terlihat sehat. Bahkan sesaat sebelum pergi, beliau sempat menyuruh saya untuk membuka jendela kamar karena saat itu hari sudah pagi. Lalu bapak memberikan kue hasil kenduri dari rumah saudara semalam. Dan saya pun pergi bermain. Pukul 7 pagi bapak ditemukan dalam keadaan tak bergeming saat dibangunkan ibu yang sedang tidak berdagang. Yang saya tahu suasana kemudian menjadi ramai ditambah suara tangisan dan ratapan ibu saya. Bagian ini saya tidak kuat untuk melanjutkan cerita, saya sensor.

Kakak-kakak saya yang sudah dewasa mulai belajar mandiri untuk membantu beban ibu. Tapi saya belum bisa berbuat banyak. Saya mulai masuk SD. Kelas 3, saya belajar bedagang. Saya belajar berdagang mainan anak yang musim saat itu, misalnya kelereng, layang-layang dan sebagainya. Anak yang jualan mainan anak. Itulah saya.

Hasil dari berdagang saya gunakan untuk jajan. Tapi ada saat dimana saya tidak berdagang karena tidak ada musim permainan saat itu. Jika ada peluang selalu saya manfaatkan.

Keadaan ekonomi saat itu memang memprihatinkan. Setiap hari setiap anak medapat jatah makan, tapi tidak sekenyang yang kami mau. Kurang atau tidak, jatah hanya senilai itu. Itu pun dengan lauk apa adanya. Bahkan tidak jarang hanya dengan terasi, bawang goreng, atau hanya garam. Saya ingat suatu pagi saya ingin sarapan. Biasanya, kalau ada nasi kemaren yang tersisa dan basi, ibu tidak membuangnya. Nasi digoreng dengan bumbu bawang dan garam saja. Nikmat memang karena tidak ada lagi makanan yang layak lagi. Jika ibu tidak ada, saya tidak bisa membuat nasi goreng. Saya hanya mencampurkan nasi basi dengan minyak, bawang goreng dan garam, diaduk tanpa digoreng. Mirip nasi goreng.

Untuk mendapatkan makanan enak, saya harus menunggu hari-hari istimewa seperti hari raya,  lebaran haji -saat daging kurban dibagikan, atau jika ada yang hajatan, tapi itu pun harus berbagi dengan anggota keluarga kami yang lain. Bisa di bayangkan kalau telur setengah harus harus dipotong kecil-kecil untuk dibagi rata. Susahnya untuk menikmati makan enak. Tapi semua itu harus tetap disyukuri, karena masih ada yang bisa untuk dimakan demi menyambung nafas kami.

Setiap kakak saya yang dewasa pulang merantau dari Jakarta, ibu selalu membuatkannya makanan istimewa. Bahkan saya saja tidak boleh medapatkan bagian. Apa makanan istimewa itu? Mie instant. Coba bayangkan, mie instant seperti Indomie dan lainnya sudah saya anggap istimewa saat itu. Dan kalau pun saya mendapat bagian, itu hanya berupa kuahnya saja, dengan beberapa helai mie yang terbawa.

SMP, saya keliling kampung untuk berdagang siomay, sandal dan lainnya. Keuntungannya saya gunakan untuk uang saku dan terkadang untuk bayaran sekolah.

Jarak sekolah dengan rumah sekitar 7 Km. Dan itu setiap hari saya tempuh dengan sepeda. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai. Uang saku yang diberi ibu hanya Rp. 200 saat itu. Itu hanya cukup untuk sekali berangkat jika saya menggunakan tranportasi unum, dan pasti saya tidak punya ongkos pulang. Dengan sepeda, uang itu bisa saya gunakan untuk jajan. Dengan berdagang, saya bisa memiliki uang saku lebih. Meskipun saya harus berhadapan dengan panasnya terik matahari saat pulang sekolah, atau hujan yang tak mengenal waktu.

Masuk STM, saya belajar berdagang yang keuntungannya lebih besar, celana jean, sepatu kulit, yang saya ambil langsung dari Bandung. Saya juga mengenal bisnis MLM. Hampir setiap hari saya menerima kiriman wesel pos dari para downline. Ini yang paling besar keuntungannya. Saya hanya perlu memasang iklan pada sebuah harian. Sayang tak berlangsung lama, karena isu bisnis ini dilarang, terutama oleh Islam.

Jarak dari rumah ke sekolah sangat jauh karena di luar kota, kira-kira 40 Km. perlu waktu rata-rata 60 menit untuk sampai. Saya mendapat jatah uang saku Rp. 1.700. Sisa Rp. 300 untuk jajan karena mau tidak mau saya harus menggunakan transportasi umum. Itu pun sebagian jarak sekitar 5 Km saya tempuh dengan sepeda, kemudian sepeda saya titipkan di tempat penitipan sepeda.

Semua kisah diatas membentuk kepribadian saya yang tidak mudah menyerah, meskipun cobaan datang silih berganti.

Kisah ini dapat Anda sambung dengan judul Saya Mengawali Dunia Dagang Profesional Di Perantauan, Purwakarta.

Apakah artikel di atas bermanfaat? Beri tanggapan Anda pada kolom di bawah ini.